PERKEMBANGAN PERBANKAN TAHUN 1990 – 2010
KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang
Perkembangan Perbankan tahun 1990 – 2010
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian
penulis
BAB I
BANK INDONESIA
1.1 SEJARAH BANK INDONESIA
Saat kembali
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950,
struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. De Javasche
Bank merupakan bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian berubah
menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Indonesia.Sejarah kelembagaan
Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang
Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953.
Dalam
melakukan tugasnya sebagai Bank Sentral , Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan
Moneter, Direksi dan Dewan Penasehat. Dengan adanya Dewan Moneter maka
kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada di tangan
pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde
baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank
Sentral.
Orde baru
membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya UU No. 14/1967
tentang pokok-pokok perbankan. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam
kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban Bank Swasta nasional
dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional karena jumlahnya terlalu
banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam
permodalan dan manajemen.
Industri
perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek
kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI, sehinnga menyebabkan kurangnya
inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakam titik awal BI memberikan kebebasan
kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan
deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien
dan tangguh.
Sejak saat
itu Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu
pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan
pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter. Dengan demikian, Bank Indonesia tidak
lagi dipimpin oleh Dewan Moneter.
Ketika
krisis moneter tahun 1997 melanda Indonesia, struktur perbankan Indonesia porak
poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang
melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini menjadi kepanikan masyarakat. Oleh karena
itu, Bank Indonesia memberikan bantuan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai
tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama Pemerintah.
Namun akhirnya masa-masa sulit dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik
seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Setelah
berakhirnya masa orde baru, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya
melalui UU No. 3/2004. Semenjak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan
khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga Negara yang independen dan bebas
dari campur tangan pemerintah dan/pihak – pihak lain. Namun, didalm
melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan,
Bank Indonesia harus mempertimbangkan pula kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian.
Walaupun keberadaan Bank Indonesia baru dimulai tanggal 1
Juli 1953, yaitu saat berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 1953 tentang
Undang-undang Pokok Bank Indonesia, namun karena dalam penjelasan pasal 23
Undang-undang Dasar 1945 telah disebutkan bahwa Bank Indonesia yang akan
mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan
Undang-undang, maka penulisan buku sejarah Bank Indonesia dimulai sejak tahun
1945.
Sistematika pemaparan dalam masing-masing buku ini dibagi
dalam tujuh bab yaitu:
A.
Pendahuluan
Bab ini menjelaskan gambaran umum tentang tonggak-tonggak
sejarah yang mengawali dan mengakhiri karakteristik kebijakan Bank Indonesia
dalam masing-masing periode.
B.
Kondisi Sosial Politik
Bab ini menjelaskan perkembangan dan kondisi sosial politik
yang melatar belakangi dan mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak
langsung terhadap kedudukan dan peran Bank Indonesia pada tiap periode.
C.
Kondisi Ekonomi
Bab ini menjelaskan perkembangan ekonomi yang sangat
dipengaruhi oleh perkembangan sosial politik masing-masing periode.
D.
Kelembagaan
Bank Indonesia Bab ini menjelaskan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kelembagaan Bank Indonesia .
E.
Kebijakan Moneter
Bab ini menjelaskan kebijakan moneter yang ditempuh
Pemerintah dan Bank Indonesia serta perkembangannya dalam masing-masing
periode.
F.
Kebijakan Perbankan
Bab ini menjelaskan kebijakan perbankan yang ditempuh
Pemerintah dan Bank Indonesia serta perkembangannya dalam setiap periode.
G.
Kebijakan Lalu Lintas Pembayaran
Bab ini menjelaskan kebijakan yang ditempuh oleh Bank
Indonesia dalam lalu lintas pembayaran tunai dan non tunai masing-masing
periode.
Kelembagaan
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya
Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai bank
sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan
Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski
tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank
tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU
No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi
sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan
menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter.
Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah
orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak
saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan
sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau
pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan
pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Moneter
Setelah berdirinya Bank Indonesia,
kebijakan moneter di Indonesia
secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab
atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama
kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui
kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit
spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek
politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua
kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut
pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan
rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang
keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi
perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk
memperkuat struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun
1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia.
Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang
luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari
pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui
beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram
dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik
yang stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan
tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No.
23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia
ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia
diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan
bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar negeri
berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post
Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Perbankan
Saat kembali menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950,
struktur ekonomi Indonesia
masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih merajai kegiatan
perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam negeri masih
terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia
pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De
Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian
menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda,
dilakukan nasionalisasi atas bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem
ekonomi terpimpin telah membawa bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal
yang tidak bertahan lama. Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang
perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan
kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia.
Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972
melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta nasional dengan sasaran
mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan
sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan
dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup
besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program
Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit
Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit Koperasi (Kakop),
Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah ini, BI telah
mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi
diluar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia
telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh
pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan.
Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk
menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya
adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam
penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank
baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat
(BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan nasional mulai menghadapi masalah
meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemberian kredit
oleh perbankan terutama untuk sektor properti. Keadaan ekonomi mulai memanas
dan tingkat inflasi mulai bergerak naik.
Ketika krisis moneter
1997 melanda, struktur perbankan Indonesia
porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah
yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat.
Oleh karena itu, Bank Indonesia
turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas
dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan
restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia
bersama pemerintah.
Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran di Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam
Undang-Undang (UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya
mengeluarkan uang kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah
berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima
rupiah. Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas
bertanda tahun 1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No.
13/1968, BI mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam
sebagai alat pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu,
pemerintah tidak lagi menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam
pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI
mengeluarkan uang dalam pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000
(1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang
pecahan besar seiring dengan perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat
itu.
Sementara itu, dalam bidang pembayaran non
tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor
perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak
awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran
giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran
giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an,
pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai
juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih
efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai
sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer
dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI)
dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan.
Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti
BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement
(RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar
wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System
(S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia
(1953 – Sekarang)
1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Masa Jabatan
: 1953 – 1958
2. Mr. Loekman Hakim, Masa Jabatan : 1958 –
1959
3. Mr. Soetikno Slamet, Masa Jabatan : 1959 –
1960
4. Mr. Soemarmo, Masa Jabatan : 1960 – 1963
5. T.
Jusuf Muda Dalam, Masa Jabatan : 1963 – 1966
6. Radius
Prawiro, Masa Jabatan : 1966 – 1973
7. Rachmat
Saleh, Masa Jabatan : 1973 – 1983
8. Arifin
Siregar, Masa Jabatan : 1983 – 1988
9. Adrianus
Mooy, Masa Jabatan : 1988 – 1993
10. J. Soedradjad Djiwandono, Masa Jabatan :
1993 – 1998
11. Sjahril Sabirin, Masa Jabatan : 1998 – 2003
12. Burhanuddin Abdullah, Masa Jabatan : 2003
– 2008
13. Boediono, masa jabatan : 2008 - 2013
1.2 BISNIS UTAMA PERUSAHAAN
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Bank Indonesia
merupakan Bank Sentral yang memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan
sebagai lembaga Negara yang Independen dan bebas dari campur tangan pemerintah
dan/pihak-pihak lain, yang terdapat didalam Undang-Undang No. 3/2004. Untuk
dapat menjalankan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan
transparan, Bank Indonesia
harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Selain itu, Bank Indonesia bersama-sama Bank
Pemerintah Daerah seperti BBD, BDN, BEII, BNI, Bapindo, BRI dan BTN, juga mendirikan Yayasan Pengembangan
Perbankan Indoensia (YPPI) pada 30 April 1970, dengan tujuan membentuk
dan mengembangkan kemampuan tenaga profesional perbankan, baik untuk para
pegawai Bank Indonesia dan bank-bank pemerintah, maupun pegawai bank-bank
swasta. Bank Indonesia menyatakan niat dan kesediaan melanjutkan pengembangan
usaha YPPI atas beban biaya Bank Indonesia dengan mengganti menjadi Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia, disingkat LPPI sebagaimana tercermin pada
akte pendirian dan anggaran dasarnya, LPPI didirikan oleh Bank Indonesia dengan
akte notaris Rd Soeharsono SH, No. 24 tg 29 Des 1977 dengan tiga tujuan pokok,
yakni memperoleh tenaga-tenaga pimpinan perbankan yang bermutu; mempertinggi
mutu pengetahuan perbankan; dan memperluas pengertian masyarakat terhadap dunia
perbankan. Adapun susunan kepengurusan di YLPPI adalah sebagai berikut:
Ø Dewan
Kurator
1. Ketua : Gubernur Bank
Indonesia
2. Anggota : Pengurus
Asosiasi Perbankan yaitu Himbara, Perbanas, Ikatan Bankir
Indonesia, Asosiasi
Bank-Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank-bank
Syariah, Federasi Bank
Asing dan Perhimpunan Bank-bank Perkreditan,
secara ex-officio.
Ø Komite
Evaluasi Program
1. Ketua : Deputi
Gubernur Bank Indonesia
2. Sekretaris : Direktur Direktorat Penelitian
& Pengaturan Perbankan
3. Anggota : Direktur
SDM Bank-bank besar, secara ex-officio.
Ø Susunan
Direksi
1.
Direktur Utama
2.
Direktur Bidang Umum
3.
Direktur Diklat
4.
Direktur Bidang Syariah
5.
Direktur Bidang Pendidikan Manajerial
6. Direktur Bidang Pendidikan Profesional
1.3 KAPAN PERMASALAHAN DI
MULAI ?
Permasalahan kasus korupsi dimulai pada
saat rapat dewan gubernur pada tanggal 3 juni – 22 juli 2003, yaitu penggunaan
dana YPPI sebesar 68,5 Miliar yang digunakan untuk menyelesaikan masalah hokum
yang menjerat beberapa mantan pejabat BI. Sisanya 30,5 Miliar mengalir
keanggota DPR komisi VIII periode 1999 – 2004. Kucuran dana tersebut ke DPR
dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah BLBI dan Amandemen Undang – Undang Bank
Indonesia.
1.4 SIAPA PERAN UTAMA DALAM
KASUS KORUPSI BANK INDONESIA
?
KPK telah menetapkan 3 tersangka dalam
kasus dugaan korupsi dana Bank Indonesia,
yaitu :
o Burhanudin
Abdullah (Gubernur Bank Indonesi).
o Oey Hoy Tiong (Direktur Hukum).
o Rusli Simandjuntak (Mantan Kepala
Biro Gubernur BI yang kini menjabat sebagai Kepala Perwakilan BI di Surabaya).
Dalam Kasus dugaan korupsi dana Bank Indonesia merupakan langkah maju yang
telah diambil oleh KPK. Sikap KPK tergolong berani, terutama mengingat sosok
burhanudin ketika ditetapkan sebagai tersangka masih aktif sebagai Gubernur
Bank Indonesia.
1.5 SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS KASUS ?
Kasus korupsi dana BI terungkap setelah BPK mengaudit BI pada tahun 2006.
Ketua BPK Anwar Nasution melaporkan temuan ke KPK pada akhir 2006. Laporan
tersebut membeberkan penyimpangan terhadap pemberian bantuan hukum pada pejabat
dan mantan pejabat BI. Dana yang dikeluarkan mencapai 100 Miliar. Setahun
kemudian KPK baru mengusut kasus tersebut.
Sejauh ini alasan para tersangka BI yaitu,
uang yang diambil dari YPPI itu untuk kepentingan diseminasi. Dan aliran dana
bantuan hokum untuk mantan pejabat BI 68 Miliar. Keputusan ini merupakan putusan
bersama para pejabat Bank Indonesia.
Oleh karena itu, yang bertanggung jawab
atas kasus korupsi dana BI, tidak hanya dibebankan kepada gubernur BI saja.
Tetapi juga oleh anggota dewan gubernur BI lainnya yang ikut menandatangani
keputusan tersebut.
Selain 3 tersangka yang sudah ditetapkan,
pimpinan KPK dalam jumpa pers dijakarta akhir januari 2008 menyebutkan
tersangka penerimaan dana BI dari DPR yaitu, Antony Zeidra Abidin dan Hamka
Yamdu.
Di dalam perkembangannya 29 Oktober 2008 KPK menetapkan tersangka baru :
1. Aulia Pohan 3. Bun Bunan Hutapea
2. Aslim Tadjuddin 4. Maman Soemantri
BAB II
LAPORAN KEUANGAN
2.1 ALIRAN DANA BI TIDAK
PERNAH TERCATAT DALAM LAPORAN KEUANGAN YPPI
Aliran bertahap dana
sebesar Rp100 miliar ke kas Bank Indonesia (BI) tidak pernah tercatat dalam
laporan keuangan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), tempat asal
dana tersebut.
Kepala Auditoriat II
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Novi Gregorianto ketika bersaksi di Pengadilan
Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu (3/9), mengatakan pengeluaran uang dari kas
yang tidak tercatat merupakan suatu pelanggaran. Dana YPPI sebesar Rp100 miliar
keluar dari YPPI ke kas BI secara bertahap pada pertengahan 2003. Audit
terhadap laporan YPPI per 31 Desember 2003 tidak memperlihatkan pengeluaran
dana tersebut. "Ada
pelanggaran di situ “.
Hasil pemeriksaan BPK
menyebutkan dana itu digunakan tidak sesuai dengan tujuan yayasan, yaitu
mengalir ke kas BI untuk tujuan bank sentral itu. Kepala Auditor II BPK juga
membeberkan pencairan dana YPPI itu tidak melalui sistem perbankan umum, tetapi
melalui rekening YPPI yang ada di Bank Indonesia.
Berdasarkan temuan audit BPK, aliran dana itu berawal dari disposisi Dewan
Pengawas YPPI. Saat itu, Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan Maman H. Soemantri
tergabung dalam dewan pengawas YPPI.
Kemudian diketahui bahwa
disposisi Dewan Pengawas YPPI itu mendapat persetujuan dari Dewan Gubernur BI
dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 3 juni 2003. Meski berdasar surat
resmi, pengeluaran tersebut tidak tercatat dalam laporan keuangan YPPI.
"Tidak ada satupun catatan penggunaannya untuk apa?. Aliran yang tidak
tercatat itu berpotensi menjadi kerugian negara. "Uang ini hilang dari keuangan negara,".
Kasus dana BI telah menjerat lima orang menjadi pesakitan di meja hijau. Mereka
adalah mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI
Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, mantan Anggota
Komisi IX DPR Atony Zeidra Abidin, dan anggota Komisi IX DPR Hamka Yandu. Oey
diduga menyerahkan dana YPPI itu sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang
saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),
yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R. Prawiranata,
dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul sutopo.
Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para
mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang tersebut
setelah diserahkan kepada mereka.
Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli
Simandjuntak dan Asnar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode
2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan
amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.
BAB
III
KASUS – KASUS DAN BI
3.1 KASUS 1 : TUNTUTAN
TRANSPARANSI DALAM PENANGANAN KASUS DANA BI
Penetapan tiga tersangka, yakni Burhanudin
Abdullah (Gubernur Bank Indonesia/BI), Rusli Simandjuntak (Kepala Biro Gubernur
BI) dan Oey Hoey Tiong (Direktur Hukum BI) dalam kasus dugaan korupsi dana BI
merupakan langkah maju yang telah diambil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sikap ini tergolong berani, mengingat sosok Burhanudin terutama ketika
ditetapkan sebagai tersangka masih aktif sebagai Gubernur BI.
Riwayat pemberantasan korupsi di Indonesia
sebelumnya tidak pernah menyajikan realitas seperti sekarang ini. Pada periode
sebelumnya, aktif-tidaknya seseorang sebagai pejabat negara akan menentukan
jalannya proses hukum.
Roesdihardjo, mantan Duta Besar Indonesia untuk
Malaysia baru ditangani secara cepat oleh pimpinan KPK periode sebelumnya
setelah dirinya tidak lagi menjabat posisi duta besar. Bahkan penetapan
statusnya sebagai tersangka disembunyikan sekian lama. Kontan hal ini memicu
kritik tajam dari masyarakat luas. Pendek kata, cara-cara demikian tidak
populer di mata banyak orang karena kentalnya aroma tebang pilih. Oleh
karenanya, penetapan tersangka -terlepas dari jabatan yang melekat padanya-
perlu didukung oleh semua kalangan, dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap
kemungkinan adanya agenda tersembunyi dalam proses hukum kasus BI. Mengingat
sedari dulu, kita telah menuntut supaya KPK benar-benar menunjukan tajinya,
terutama ketika berhadapan dengan para pejabat yang memiliki kekuasaan besar.
Harapannya, kasus BI akan menjadi titik awal bagi KPK untuk semakin tegas
terhadap praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Agenda Politik
Ihwal agenda politik dalam penetapan tersangka
kasus BI oleh KPK memang sulit untuk dielakkan. Sinyalemen demikian muncul karena
dimulainya tahap penyidikan dugaan korupsi BI berdekatan waktunya dengan agenda
pengajuan calon Gubernur BI yang baru ke DPR oleh Presiden.
Ditambah lagi, penetapan tersangka oleh KPK hanya
mengarah kepada tiga orang saja, tidak atau belum menjangkau semua nama
pejabat, baik yang ada di BI maupun DPR, sebagaimana ditunjukkan oleh
bukti-bukti awal yang ada. Politisasi terhadap penegakan hukum kasus korupsi
memang telah menjadi isu yang terus-menerus bergulir. Maka dari itu, pimpinan
KPK periode sebelumnya memilih untuk menunda proses hukum yang dapat memicu
tuduhan adanya pemelintiran terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Setidaknya setelah momen politik, seperti pilkada,
pemilu, atau pemilihan pejabat publik lainnya usai, proses hukum akan dengan sendirinya
dianggap netral. Sebenarnya situasi seperti ini telah menciptakan dilema
tersendiri. Jika tidak memberikan bukti cepat kepada masyarakat tentu akan
lahir anggapan bahwa KPK telah mengendapkan kasus. Akan tetapi dengan proses
hukum yang berjalan, ada sandungan lain yang dihadapi, yakni tudingan bahwa
politisasi telah terjadi.
Tiga Langkah
Supaya kondisi yang dilematis ini dapat
diselesaikan, sekaligus meredam kecurigaan publik atas skenario di balik
penetapan tersangka kasus BI, KPK memerlukan langkah-langkah lanjutan sekaligus
respons yang tepat.
Pertama, KPK harus bisa meyakinkan kepada publik bahwa
penetapan tersangka kasus BI bukan sesuatu yang disengaja dalam konteks
pemilihan Gubernur BI. Akan tetapi merupakan sebuah proses yang tahap penyidikannya
kebetulan hampir berdekatan dengan agenda pemilihan Gubernur BI yang baru. Oleh
karenanya, di sini KPK perlu secara transparan menjelaskan, alasan ketiga orang
tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Tentunya kita percaya, dalam
penetapan tersangka, KPK tidak sembrono melakukannya. KPK mestinya telah
memiliki bukti-bukti yang cukup sehingga proses hukum harus diteruskan ke tahap
yang lebih maju. Hal ini mengingat dalam tahap penyidikan, KPK tidak bisa
menghentikan perkara, selayaknya di Kepolisian atau Kejaksaan. Istilah SP3
tidak dikenal dalam kamus hukum KPK. Wacana yang berkembang jelas mencurigai
bahwa penetapan Gubernur BI seorang diri, di luar Dewan Gubernur BI lainnya
yang ikut menyetujui pengucuran dana Rp 100 miliar dari YPPI bertujuan mengganjal
terpilihnya kembali Burhanudin sebagai Gubernur BI untuk masa jabatan kedua.
Maka dari itu, KPK harus bisa menerangkan dengan sejelas-jelasnya kepada
publik, bahwa posisi Gubernur BI, dalam kaitannya dengan penyimpangan dana YPPI
bukanlah kekeliruan individual, akan tetapi sebuah kemufakatan dengan pejabat
BI yang lain.
Kedua,
penetapan tiga tersangka kasus BI haruslah diikuti dengan penetapan tersangka
lainnya yang secara formil dan materiil terlibat dalam kasus ini. Dari berbagai
dokumen rujukan yang digunakan untuk bukti awal penyelidikan, beberapa nama
dari lapisan kalangan yang berbeda, baik dari BI, legislatif, pengacara, dan
Kejaksaan, muncul atau disebut-sebut telah menerima dana haram tersebut. Dari
internal BI sendiri, tidak hanya Gubernur BI yang menyetujui penggunaan dana
YPPI untuk berbagai keperluan yang diindikasikan sebagai tindak pidana korupsi,
akan tetapi menyeret para anggota Dewan Gubernur BI yang lain. Secara hukum,
bubuhan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan atas kebijakan yang menyimpang
tersebut seharusnya dapat dijerat dengan hukum yang sama. Hal ini mengingat
adanya tanggung jawab dan otoritas yang melekat pada pejabat BI itu sendiri.
Ketiga,
mengingat kasus BI ini diduga kuat terkait persoalan suap, maka KPK juga harus
dapat menyeret pihak lain yang telah menerima dana dari BI secara tidak sah.
Dalam hal ini, yang terutama adalah anggota dan mantan anggota DPR. Ironi kasus
DKP yang menjadikan Rokhmin Dahuri sebagai terpidana seharusnya tidak boleh
terulang dalam kasus BI. Kita tentunya masih ingat bagaimana KPK menghentikan
semua proses hukum yang terkait dengan sumbangan ilegal DKP ke berbagai pihak,
termasuk ke anggota DPR. Hingga akhir penyelesaian kasus, dan Rokhmin telah
divonis oleh Pengadilan Tipikor, tidak ada satu orang pun yang menerima dana
DKP diproses oleh KPK. Kasus itu pula yang kian menguatkan persepsi publik
bahwa KPK telah melakukan praktik tebang pilih. Mengingat harapan masyarakat
atas penuntasan kasus BI begitu tinggi, maka pimpinan KPK seharusnya merespons
hal tersebut dengan memberikan hasil kerja yang memuaskan. Nilai strategis dari
kasus BI juga semestinya menjadi pemicu bagi KPK untuk melangkah lebih jauh,
dengan menyeret semua pelaku yang terlibat dalam kasus BI. Karena dengan itu
sajalah, KPK dapat dianggap telah melakukan pemberantasan korupsi tanpa pilih
bulu. Kita sangat berharap, kasus ini justru tidak menyeret KPK ke kancah
3.2 KASUS 2 : DANA BI, KPK CARI BUKTI KUAT JERAT KORUPTOR
JAKARTA - Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) hingga saat ini masih berupaya menelusuri alat bukti yang kuat
untuk menjerat pihak yang terlibat kasus aliran dana Bank Indonesia
(bi) senilai Rp 100 miliar. KPK juga
memberikan sinyalemen adanya tersangka baru dalam kasus ini.
"Kami masih lihat perkembangan penyidikan.
Penyidik masih berupaya menemukan alat bukti. (Soal tersangka baru), ya
kemungkinan ada tetapi saya belum mendalami," tegas Wakil Ketua KPK, Bibit
Samad Rianto kepada okezone,
Kamis (18/12/2008) via sambungan telepon Lanjut Bibit, penyidik KPK berusaha
menemukan alat bukti yang kuat mengenai keterlibatan siapa saja dalam kasus
penyelahgunaan dana BI tersebut. "Kuatnya sebuah bukti akan meyakinkan
hakim di persidangan (Tipikor) nanti. Jadi bias kene hukuman, “sambungannya Khusus
untuk Anwar Nasution, Bibit mengaku penyidik masih mempelajari bagaimana proses
keterlibatan Anwar di Rapat Dewan Gubernur tertanggal 22 Juli 2003. "Kami
juga melihat bagaimana proses tandatangannya (dalam persetujuan penggunaan dana
BI-YPPI sebesar Rp 100 miliar).
Sementara itu,
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono Umar juga menegaskan upaya
penyidikan terhadap kasus ini masih terus berjalan. " Namun sekarang
penyidik masih fokus dengan empat tersangka baru (Aulia Pohan, Aslim Tadjuddin,
Bun Bunan hutapea dan maman sumantri),” tuturnya.
Haryono
menambahkan, penyidikan kasus aliran dana BI ini masih difokuskan untuk mencari
alat bukti yang lengkap. "Penyidik mengupayakan alat bukti yang lengkap
untuk empat tersangka, sehingga begitu masuk ke pengadilan, bisa dibuktikan
telah terjadi tindak pidana korupsi. Namun baik Bibit dan Haryono tidak
menjelaskan secara rinci alat bukti yang sedang penyidik KPK cari.
Kasus aliran
dana BI ini bermula saat Rapat Dewan Gubernur pada tanggal 3 Juni dan 22 Juli 2003
yang menghasilkan keputusan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia (YPPI) sebesar Rp69,5 miliar yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah hukum yang menjerat beberapa mantan pejabat BI. Sedang sisanya Rp 38,5 miliar mengalir ke anggota
DPR komisi VIII periode 1999-2004. Kucuran dana ke DPR itu dimaksudkan untuk
menyelesaikan masalah BLBI dan amandemen UU Bank Indonesia. Dalam
perkembangannya KPK menetapkan empat tersangka baru tertanggal 29 Oktober lalu
yakni, Aulia Pohan, Aslim Tadjuddin, Bun Bunan Hutapea dan Maman Soemantri.
Keempat tersangka tersebut juga sudah ditahan di rumah tahanan Bareskrim Mabes
Polri dan Brimob Kelapa Dua.
3.2 KASUS 3 : BABAK BARU KASUS DANA BI
Belum beres kasus aliran dana Bank Indonesia (BI)
senilai 31,5 miliar ke anggota DPR periode 199-2004 diselesaikan, kini muncul
kasus korupsi dana BI jilid II. Disebutkan bahwa bank sentral ini mengucurkan
dana Rp 2,3 miliar kepada Komisi Perbankan DPR. Dana itu digunakan untuk
berbagai kegiatan komisi, seperti kunjungan kerja dan bantuan apresiasi dalam
rangka deseminasi anggaran operasional BI 2007, biaya silaturahmi dan acara
buka puasa.
Selain itu, BI diduga
memberi uang saku pada empat anggota Badan Legislasi DPR saat berkunjung ke London
dan New York pada
3-12 Maret 2007. Besarnya dana untuk uang saku itu US$ 13.960 atau Rp 130 juta.
Setiap anggota DPR mendapatkan US$ 3.490 dan Rp1 juta. Kabar baru itu tentu
menyentak kita, sebegitu bagusnya BI telah menservis anggota dewan.
Kasus aliran dana BI
jilid II ini, sudah pasti harus segera ditindaklanjuti oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang serius menuntaskan kasus dugaan aliran
dana BI sebelumnya yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Pengungkapan kasus
korupsi pertama itu kini telah berkembang, tidak hanya terbatas memeriksa
sumber dana dan prosesnya. ”Ada
kemungkinan kami teruskan yang lain,” jelas Ketua KPK Antasari Azhar. Ia
memastikan tindak lanjut kasus dana BI berikutnya menunggu hasil evaluasi
terakhir.
Sebelumnya KPK telah
menetapkan tiga tersangka pejabat BI. Mereka adalah Gubernur Bank Indonesia
Burhanuddin Abdullah, Kepala BI Surabaya Rusli Simanjuntak, dan Direktur Hukum
BI Oey Hoey Tiong. Ketiganya diduga terlibat dalam proses aliran dana BI Rp
31,5 miliar yang disalurkan ke sejumlah anggota Komisi Keuangan DPR periode
1999-2004. Berkas perkara itu sudah hampir selesai dan akan segera dilimpahkan
ke pengadilan.
Tidak hanya mereka.
Pimpinan KPK dalam jumpa pers di Jakarta
pada akhir Januari 2008, menyebut penerima dana BI dari DPR itu berinisial AZA
dan HY. AZA, inisial dari Antony
Zeidra Abdidin, anggota Subkomisi Perbankan Komisi IX DPR periode 1999-2004.
Saat ini, Antony menjabat sebagai Wakil Gubernur Jambi. Sedangkan, HY adalah
inisial dari Hamka Yamdu, politisi dari Partai Golkar yang saat ini masih aktif
di Komisi IX DPR RI.
Dengan demikian, dalam proses penyidikan terhadap
kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota Dewan, jumlah tersangka kemungkinan
besar bertambah. Karena dari penyidikan terhadap dua anggota dewan tersebut
dapat membuka keterlibatan anggota dewan lainnya. Badan Kehormatan DPR sudah
memberikan 16 nama anggota DPR yang diduga menerima dana BI. Nama tersebut
diambil dari laporan Aliansi Penegak Citra Parlemen. Sayangnya mantan/anggota
DPR yang menerima dana BI, sampai tulisan ini diturunkan, belum satupun yang
ditetapkan sebagai tersangka. Sejumlah kalangan meragukan keberanian KPK
menetapkan tersangka dari anggota DPR karena kuatnya tekanan politis.
Seperti diketahui, kasus ini terungkap setelah BPK
mengaudit BI pada 2006. Ketua BPK Anwar Nasution melaporkan temuan itu ke KPK
pada akhir 2006. Laporan itu membeberkan penyimpangan terhadap pemberian
bantuan hukum pada pejabat dan mantan pejabat BI. Sebab dana yang dikeluarkan
untuk itu mencapai lebih dari Rp 68,5 miliar. Versi ICW, jumlahnya mencapai Rp
71,5 hingga 100 miliar. Setahun kemudian, KPK baru mengusut.
Sejauh ini, para tersangka dari BI beralasan bahwa
uang yang diambil dari YPPI itu untuk kepentingan diseminasi. Selain itu,
aliran dana bantuan hukum untuk bekas pejabat Bank Indonesia Rp 68 miliar,
menurut Burhanuddin, merupakan keputusan bersama pimpinan BI. Karena itu,
pertanggungjawabannya seharusnya tak hanya dibebankan pada Gubernur BI, tetapi
juga oleh anggota Dewan Gubernur BI lain yang ikut menandatangani keputusan
itu. Dengan demikian, seharusnya semua anggota Dewan Gubernur yang terlibat
dalam pengambilan keputusan tersebut ditetapkan kasus yang sama.
Mereka yang patut dijadikan tersangka adalah ketua
pembina dan wakil ketua Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).
Keduanya juga menjadi anggota Dewan Gubernur BI saat itu, yaitu Aulia Pohan dan
Maman Husein Soemantri. Kalau mereka tidak diusut, KPK akan dinilai masih tetap
melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi. Penetapan Burhanuddin
Abdullah sebagai tersangka, menimbulkan kontraversi. Ada yang mencurigai proses
hukum itu sebagai alat politik untuk menyingkirkan atau memuluskan figur
tertentu karena tahun ini pemilihan Gubernur BI dilangsungkan. Apalagi masa
tugas Burhanuddin sebagai Gubernur BI akan berakhir pada 17 Mei 2008. Dengan
menjadi tersangka, kesempatan Burhanuddin sebagai calon gubernur BI periode
2008-2013 akan terganggu. Terbukti saat ini Boediono adalah calon terkuat dari
pemerintah untuk jabatan Gubernur BI. Belum lama ini bahkan muncul isu adanya
pertemuan segitiga untuk gagalkan skandal Bank Indonesia. Pertemuan segitiga
yang dihadiri wakil dari DPR, Istana, dan Bank Indonesia (BI) itu digelar di
Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada 6 Februari 2008 lalu. Namun, belum diketahui
persis siapa saja yang ikut dalam pertemuan itu. Informasi yang beredar, dari
istana diwakili oleh salah seorang pejabat. Sementara dari BI, diwakili
sejumlah pejabat yang tidak terkait dengan aliran dana BI ke anggota DPR dan
para aparat hukum itu. Sementara dari DPR diwakili sejumlah anggota DPR dari
sejumlah partai politik. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa Gubernur BI
Burhanuddin Abdullah dikorbankan untuk menjadi tersangka. Nama lain yang
menyerempet kekuasaan direkomendasikan untuk tidak menjadi tersangka, termasuk
Aulia Pohan yang kini menjadi besan SBY dan Anwar Nasution yang sekarang
menjabat ketua BPK. Keduanya sudah diperiksa oleh KPK.
Terlepas dari tudingan dan isu itu, keputusan KPK
menetapkan tersangka, harus kita dukung. Minimal ada kemajuan dari kasus aliran
dana BI tersebut. Penetapan Gubernur BI sebagai tersangka meski konsekuensinya
dapat memberikan dampak buruk bagi citra bank sentral itu. Namun, hal itu pun
akan mendorong BI memperbaiki akuntabilitas publiknya. Lembaga ini nanti diharapkan
akan lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran, serta tidak
memanjakan anggota DPR dengan berbagai servis dan suap.
KESIMPULAN
Saat kembali menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950,
struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. De Javasche
Bank merupakan bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian berubah
menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Indonesia.Sejarah kelembagaan
Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang
Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953.
Walaupun keberadaan Bank Indonesia baru dimulai
tanggal 1 Juli 1953, yaitu saat berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 1953
tentang Undang-undang Pokok Bank Indonesia, namun karena dalam penjelasan pasal
23 Undang-undang Dasar 1945 telah disebutkan bahwa Bank Indonesia yang akan
mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan
Undang-undang, maka penulisan buku sejarah Bank Indonesia dimulai sejak tahun
1945.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Bank
Indonesia merupakan Bank Sentral yang memiliki kedudukan khusus dalam struktur
kenegaraan sebagai lembaga Negara yang Independen dan bebas dari campur tangan
pemerintah dan/pihak-pihak lain, yang terdapat didalam Undang-Undang No.
3/2004. Untuk dapat menjalankan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian.
Selain itu, Bank Indonesia bersama-sama Bank
Pemerintah Daerah seperti BBD, BDN, BEII, BNI, Bapindo, BRI dan BTN, juga
mendirikan Yayasan Pengembangan Perbankan Indoensia (YPPI) pada 30 April 1970,
dengan tujuan membentuk dan mengembangkan kemampuan tenaga profesional
perbankan, baik untuk para pegawai Bank Indonesia dan bank-bank pemerintah,
maupun pegawai bank-bank swasta.
Pada tahun 2003 terdapat kasus dana BI. kasus itu
bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah
mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada YPPI
senilai Rp100 miliar.
BPK menduga uang sebesar Rp31,5 miliar diberikan
oleh Rusli Simandjuntak dan Aznar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR
periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Pada pemeriksaan di KPK,
mantan ketua sub panitia perbankan Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, yang
juga disebut menerima uang itu dari Rusli, membantah aliran dana tersebut.
Ketika menjabat sebagai Ketua Komisi IX DPR pada
1999-2004, Paskah Suzetta pernah mengusulkan tiga skenario untuk menyelamatkan
para anggota DPR yang menerima kucuran dana BI sebesar Rp 31,5 miliar. Usulan
Paskah itu disampaikan rekannya, Hamka Yandhu di Hotel Dharmawangsa, Jakarta
selatan.
Pengungkapan itu dikatakan mantan Kepala Biro
Humas BI Rizal Anwar Djafara saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, di Jakarta,
Rabu 6 agustus pada kasus aliran dana BI dengan terdakwa mantan Gubernur Bank
Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Rizal mengatakan sekitar tahun 2006 lalu,
Paskah minta diatur agar bertemu dengan Gubernur BI, Burhanudin Abdullah.
Ketika pertemuan itu diadakan Paskah tidak hadir. Hanya, Burhanuddin Abdullah,
Hamka Yandhu, anggota DPR Bobby dan Rizal sendiri.
Waktu itu, Hamka menyampaikan jalan keluar yang
diusulkan oleh Paskah, agar BI mengembalikan uang Rp 31,5 miliar ke YPPI,
supaya BPK menarik laporannya. Skenario yang diusulkan Paskah Suzetta yaitu,
pertama, agar uang aliran dana BI senilai Rp 31,5 miliar yang dikucurkan ke
anggota DPR itu diskenariokan hanya sampai di Rusli saja, tidak sampai ke
anggota DPR. Kedua, saran penyelesaian politis, antara BPK dan BI.
Ketiga, perkara ini distop dan tidak dilanjutkan di pengadilan.
Akan tetapi Paskah Suzetta membantah
telah membuat scenario terkait dengan penyelesaian kasus dana BI secara
politis. Dan Paskah juga membantah
keterlibatan dirinya dalam menerima aliran dana sebesar 1 Miliar.
Bila ada satu bukti lagi, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) akan menjerat Kepala Bappenas Paskah Suzetta dalam kasus aliran
dana Bank Indonesia ke DPR. Kamis 7 agustus, usai diperiksa selama 6 jam,
kepada KPK Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu ini, telah membantah semua
keterangan terdakwa Hamka Yamdhu dalam persidangan Tipikor sidang kasus aliran
dana BI. Paskah membantah telah menerima dana sebesar Rp 1 miliar.
KPK telah menetapkan 3 tersangka dalam kasus dana
BI, yaitu Burhanudin Abdullah selaku Gubernur BI, Oey Hoey Tiong selaku
Direktur Hukum BI, dan mantan kepala biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak yang
kini menjabat kepala perwakilan BI di Surabaya.
Dalam kasus dugaan korupsi dana BI merupakan
langkah maju yang telah diambil oleh KPK. Sikap KPK tergolong berani, terutama
mengingat sosok Burhanudin ketika ditetapkan sebagai tersangka masing aktif
sebagai Gubernur BI.
Kasus korupsi dana BI terungkap, setelah BPK
mengaudit BI 2006. Ketua BPK Anwar Nasution melaporkan temuan ke KPK pada akhir
tahun 2006. Laporan tersebut membeberkan penyimpangan terhadap pemberian
bantuan hukum pada pajabat dan mantan pajabat BI. Dana yang dikeluarkan
mencapai 100 Miliar. Setahun kemudian KPK baru mengusut.
Sejauh ini alasan para
tersangka BI yaitu, uang yang diambil dari YPPI itu untuk kepentingan
diseminasi. Aliran dana bantuan hokum untuk mantan pejabat BI 68 Miliar.
Keputusan ini merupakan keputusan bersama para pejabat Bank Indonesia.
Oleh karena itu, pertanggung jawabannya tak hanya dibebankan kepada gubernur Bank
Indonesia
saja, tetapi juga oleh anggota dewan gubernur BI lainnya yang ikut
menandatangani keputusan tersebut.
Selain 3 tersangka yang
sudah ditetapkan, Pimpinan KPK dalam jumpa pers dijakarta akhir januari 2008
menyebutkan tersangka penerimaan dana BI dari DPR yaitu Antony Zeidra Abidin
selaku anggota subkomisi perbankan komisi IX DPR periode 1999-2004. Dan Hamka Yamdu politisi partai golkar
yang saat ini masih aktif di komisi IX DPR RI.
Dan didalam perkembangannya tanggal 29 Oktober
2008, KPK menetapkan tersangka baru, yaitu Aulia Pohan, Aslim Tadjuddin, Bun
Bunan Hutapea dan Maman Soemantri.
Aliran dana sebesar 100 M ke kas BI tidak pernah
tercatat dalam laporan keuangan YPPI.Kepala Auditoriat II BPK Novi Gregorianto
ketika bersaksi Beliau mengatakan, dana YPPI ke kas BI secara bertahap pada
pertengahan 2003,Audit terhadap laporan YPPI 31 des 2003 tidak memperlihatkan
pengeluaran dana tersebut
Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan dana itu
digunakan tidak sesuai dengan tujuan yayasan, Yaitu mengalir kekas BI untuk
tujuan bank sentral. BPK juga membeberkan pencairan dana YPPI itu tidak melalui
sistem perbankan umum, Tetapi melalui rekening YPPI yang ada DI BI.
Kemudian diketahui bahwa disposisi dewan pengawas
YPPI Itu mendapat persetujuan dari Burhanudin Abdullah Dalam rapat dewan
gubernur 3 Juni 2003. Walaupun berdasarkan surat resmi, laporan pengeluaran itu
Tidak tercatat dalam laporan keuangan YPPI.
Belum beres kasus aliran dana Bank Indonesia
senilai 31,5 Miliar ke anggota DPR periode 1999-2004 diselesaikan, sekarang
muncul kasus korupsi dana BI jilid II. Diduga bank sentral ini mengucurkan
dana2,3 Miliar kepada komisi perbankan DPR. Dana itu digunakan untuk berbagai
kegiatan komisi seperti kunjungan kerja dan bantuan apresiasi dalam rangka
diseminasi anggaran operasional BI 2007, biaya silaturahmi dan acara buka puasa.
Selain itu BI diduga
memberi uang saku pada empat anggota badan legislasi DPR saat berkunjung ke London
dan New York pada
3-12 Maret 2007. Besarnya dana untuk uang saku tersebut 130 juta. Setiap
anggota DPR mendapat 1 juta.
Daftar
Pustaka